Layanan BPJS Diduga Disimpangkan Oknum Dokter: Publik Minta Evaluasi Nasional

GLADIATOR
0

PADANG | Dunia medis kembali tercoreng setelah mencuat dugaan tindakan tidak profesional terkait pelayanan kesehatan terhadap pasien fasilitas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Seorang pasien yang seharusnya mendapatkan layanan medis secara gratis sesuai mekanisme dan aturan BPJS, justru disebut dimintai biaya sebesar Rp 26 juta oleh oknum dokter saat akan menjalani tindakan medis yang berkaitan dengan pemasangan alat.

Kasus ini pertama kali mencuat dari laporan yang diterima pihak BPI KPNPA RI, sebuah lembaga yang dikenal fokus dalam pengawasan penyimpangan pelayanan publik, hukum, dan indikasi korupsi. Laporan yang diterima menyebut adanya dugaan permainan alat medis yang dilakukan di luar prosedur serta indikasi pelanggaran etik profesi.

Ketua BPI KPNPA RI sangat menyesalkan dugaan praktik tersebut. Menurutnya, ini bukan hanya persoalan etika kedokteran, tetapi juga berpotensi melanggar sejumlah aturan hukum, termasuk ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS yang mengatur bahwa pelayanan dasar dan tindakan yang ditanggung BPJS tidak boleh dibebankan biaya tambahan kepada peserta, kecuali dalam kategori layanan khusus yang diatur resmi.

Tidak hanya itu, dugaan pungutan dana ini juga bisa dikategorikan melanggar UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya pasal mengenai pungutan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki jabatan atau kewenangan dalam pelayanan publik. Jika benar terbukti, maka tindakan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran serius yang merugikan masyarakat dan negara.

BPI KPNPA RI menyebut bahwa tindakan yang dilaporkan ini tidak bisa dianggap sebagai insiden kecil atau miskomunikasi teknis. Lembaga tersebut menilai, kasus ini memiliki indikasi pola yang perlu diusut dengan pendekatan investigatif oleh aparat penegak hukum serta Kementerian Kesehatan. Bahkan, lembaga tersebut menyatakan siap membawa kasus ini ke pemerintah pusat untuk ditindaklanjuti secara formal.

Selain dugaan pelanggaran hukum, indikasi penyimpangan prosedur medis juga menjadi perhatian. Jika benar alat yang digunakan tidak sesuai sistem pelayanan BPJS atau dilakukan berdasarkan komunikasi non-administratif tanpa surat keterangan medis resmi, maka tindakan tersebut juga berpotensi melanggar kode etik kedokteran (Kodeki) dan Standar Prosedur Operasional (SOP) rumah sakit.

Insiden dugaan komersialisasi alat dan tindakan medis ini dikhawatirkan dapat memperburuk kepercayaan publik terhadap akses kesehatan yang ditanggung negara. Masyarakat berharap kasus seperti ini tidak ditutup rapat, dilokalisasi, atau bahkan diselesaikan dengan pendekatan internal yang tidak transparan.

Pakar hukum kesehatan menyebut kasus ini harus dibawa ke tingkat investigasi formal agar tidak terjadi preseden buruk yang bisa dimanfaatkan oknum untuk mengambil keuntungan pribadi. Ia menegaskan bahwa seluruh mekanisme pelayanan medis harus berbasis pada regulasi resmi, bukan kesepakatan verbal antara tenaga kesehatan dan pasien tanpa dokumen legal.

Jika dugaan ini terbukti melalui penelusuran lanjutan, maka selain penegakan hukum pidana, rekomendasi sanksi administratif hingga pencabutan izin praktik bisa menjadi konsekuensi yang mungkin terjadi sesuai Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.


Catatan Redaksi:
Artikel ini disusun berdasarkan informasi dan keterangan yang muncul di ruang publik serta keterangan dari pihak pelapor. Dugaan pelanggaran masih memerlukan proses verifikasi, klarifikasi dari pihak rumah sakit, dokter terkait, BPJS Kesehatan, dan Kementerian Kesehatan sebagai pihak regulator.

TIM

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)